BERKAH News24 - Terdapat lima wali dari Wali Songo yang berada di Jawa Timur. Mereka memiliki peran besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Melalui dakwahnya, para wali tidak hanya mengenalkan ajaran Islam, tetapi membaur dengan budaya lokal, sehingga lebih mudah diterima masyarakat.
Dirangkum dari Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur, lima wali yang ada di Jawa Timur masih memiliki hubungan kerabat. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Drajat di Lamongan dan Sunan Bonang di Tuban.
Maulana Malik Ibrahim merupakan ayah dari Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah ayah dari Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Dan, Sunan Giri adalah menantu Sunan Ampel, sehingga ia juga merupakan ipar dari Sunan Drajat dan Sunan Bonang.
Lima Wali dari Jawa Timur
Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, dan Sunan Gresik dikenal sebagai tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam membangun pondasi keislaman di Jawa Timur, baik melalui pendidikan, kesenian, maupun pendekatan sosial. Berikut informasi tentang lima wali dari Jawa Timur dilansir Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Jawa Timur.
1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim adalah salah satu Wali Songo yang berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Asal-usulnya masih menjadi perdebatan, tetapi diyakini ia tiba di Gresik pada akhir abad ke-14 untuk menyiarkan agama Islam di Kerajaan Majapahit. Ia disebut-sebut berasal dari Campa, keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad SAW.
Ia dikenal sebagai pedagang sukses yang menopang dakwahnya. Selain berdakwah, Maulana Malik Ibrahim juga mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam. Meskipun usahanya mengislamkan Raja Majapahit belum berhasil, sistem pesantren yang ia kembangkan menjadi model penyebaran Islam yang efektif.
Maulana Malik Ibrahim wafat di Gresik pada 8 April 1419 (12 Rabiul Awal 822 H), dan dimakamkan di Desa Gapura Wetan, Kecamatan/Kabupaten Gresik. Makamnya masih ramai dikunjungi peziarah hingga kini. Nisannya, yang indah dan berukiran tulisan Arab, diyakini berasal dari India karena kemiripannya dengan nisan-nisan di Aceh dan Gujarat.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel, yang dikenal dengan nama Raden Rahmat, berasal dari Campa, dan disebut-sebut tiba di tanah Jawa pada 1421. Tujuannya ke Jawa untuk bertemu bibinya yang menikah dengan Raja Majapahit, Brawijaya V. Setelah tiba di Jawa, ia menikah dengan putri Adipati Tuban dan diberi tanah di Ampel Denta Surabaya.
Di Ampel, ia mendirikan pesantren yang menjadi pusat pendidikan Islam. Melalui pesantren ini, ia mendidik murid-muridnya untuk menjadi kader dakwah dalam penyebaran agama Islam di Nusantara.
Sunan Ampel wafat pada 1481, meskipun ada sumber yang menyebutkan tahun 1478. Makamnya terletak di belakang Masjid Ampel, Desa Ampel, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya, dan hingga kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi, terutama pada malam Jumat Kliwon.
3. Sunan Giri
Sunan Giri, yang juga dikenal sebagai Ainul Yakin, Joko Samudro, atau Raden Paku, merupakan putra Maulana Ishaq dan Dewi Sekardadu, putri Raja Blambangan. Sejak kecil, ia diasuh saudagar kaya dari Gresik, Nyai Gede Pinatih, dan belajar agama di pesantren Ampel Denta di bawah bimbingan Sunan Ampel.
Bersama putra Sunan Ampel, yaitu Raden Qasim (Sunan Drajat) dan Sunan Bonang, ia merantau ke Aceh untuk menuntut ilmu di pusat pengajaran Islam. Sunan Giri menikah dengan putri Sunan Ampel serta putri Sunan Bungkul, dan menetap di Giri, Gresik, yang saat itu merupakan kota pelabuhan yang ramai.
Ia berperan besar dalam penyebaran Islam hingga ke Indonesia Timur, termasuk Kerajaan Ternate dan Tidore. Dalam dakwahnya, ia menggunakan lagu-lagu gubahannya, seperti Lir-ilir, yang hingga kini masih dikenal.
Selain sebagai ulama, Sunan Giri juga berpengaruh dalam politik dan pemerintahan sebagai waliul amri. Ia mengikuti tarekat Syattariyah dengan konsep martabat tujuh, meskipun ajarannya sempat menuai kritik. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang menjatuhkan hukuman terhadap Syekh Siti Jenar karena ajaran wahdatul wujud/manunggaling kawula Gusti.
Sunan Giri wafat pada tahun 1506 dan dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik. Hingga kini, makam Sunan Giri menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah di Indonesia.
4. Sunan Drajat
Sunan Drajat, yang juga dikenal sebagai Raden Qosim atau Raden Syarifuddin/Sunan Mayang Madu, adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Lahir pada tahun 1470, ia bermukim di Drajat, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Lamongan, dekat Wisata Bahari Lamongan (WBL).
Sebagai penyebar Islam di Lamongan dan sekitarnya, Sunan Drajat dikenal dengan metode dakwahnya yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat. Salah satu ajarannya yang terkenal adalah sebagai berikut.
"Memehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan wong kang luwe, menehono busono wong kang wudo, menehono ngiyup wong kang kodanan".
(Berilah tongkat kepada yang buta, berilah makan kepada yang lapar, berilah pakaian kepada yang telanjang, dan berilah tempat berteduh kepada yang kehujanan).
Selain berdakwah, Sunan Drajat juga menciptakan tembang pangkur dan mocopat. Ia wafat di Drajat pada tahun 1522, dan dimakamkan di Desa Drajat, Kecamatan Paciran. Hingga kini, makamnya menjadi tempat ziarah yang ramai, dan di kompleks makamnya terdapat museum yang menyimpan berbagai peninggalan sejarah.
5. Sunan Bonang
Sunan Bonang, yang bernama asli Raden Makhdum Ibrahim, adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila, putri Adipati Tuban. Ia lahir pada tahun 1456 di Ampel Denta, dan sejak kecil belajar agama Islam langsung dari ayahandanya.
Dalam pencarian ilmunya, ia merantau ke Samudra Pasai, Aceh, bersama saudaranya Sunan Drajat dan Sunan Giri, yang kemudian menjadi iparnya. Sebagai ulama, Sunan Bonang menguasai berbagai disiplin ilmu Islam, termasuk fiqh, ushuluddin, tasawuf, serta seni, sastra, dan arsitektur.
Ia berperan besar dalam mengislamkan wilayah Tuban dan sekitarnya, yang sebelumnya banyak dipengaruhi ajaran Hindu. Dalam bidang sastra, Sunan Bonang menghasilkan berbagai karya suluk, salah satu yang terkenal adalah Suluk Wijil.
Ia juga menciptakan tembang Tombo Ati, yang hingga kini masih populer. Selain itu, ia menggubah gamelan Jawa bercorak Hindu menjadi lebih bernuansa Islam, dan menjadikannya media dakwah yang efektif.
Sunan Bonang wafat pada 1525 dan dimakamkan di belakang Masjid Agung Tuban, Kelurahan Kutorejo, Kecamatan Tuban. Makamnya menjadi salah satu tujuan ziarah yang banyak dikunjungi umat Islam dari berbagai daerah di Indonesia.(sumber : detikjatim)